A. Pendahuluan
Dalam rangka mengisi kemerdekaan, segenap bangsa Indonesia telah berkomitmen untuk melaksanakan pembangunan nasional guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur, materiil dan spirituil, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Karena itu, sepanjang Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, proses pembangunan nasional harus terus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan.
Upaya pemerintah untuk melaksanakan pembangunan nasional dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya melalui pembangunan fisik maupun non fisik (jasa), baik dilaksanakan oleh pemerintah sendiri maupun dengan melibatkan masyarakat (perorangan atau lembaga). Agar keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan (fisik maupun non fisik) tidak menyimpang tentunya dibutuhkan seperangkat aturan main dalam wujud peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai pedoman bertindak dan berperilaku bagi para pihak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam proses pembangunan, khususnya terkait pengadaan barang/jasa dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum di antaranya: Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang memuat prinsip pokok best practices dari pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memuat perihal transparansi, persaingan sehat, dan terbuka, serta penggunaan prinsip efektivitas dan efisiensi, Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang tujuannya agar pengadaan tanah dapat dilakukan secara cepat dan transparan dengan tidak mengabaikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah.
Sekalipun berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah guna mencegah munculnya penyimpangan dalam proses pembangunan, khususnya terkait pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan kontrak serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum, namun dalam praktiknya penyimpangan masih sering terjadi, sehingga akibat aktivitas illegal ini Negara mengalami kerugian, sekaligus berakibat menurunnya mutu dan jumlah pelayanan yang seharusnya diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Kasus penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan kontrak serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum di Indonedia sangatlah tinggi, sehingga tidak ada satu departemen/lembaga/badan pun di Indonesia yang luput dari kegiatan haram ini. Beberapa kasus penyimpangan pengadaan barang dan jasa yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya: korupsi pengadaan tinta dan surat suara Pemilu yang dilakukan oleh mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum, Nazarudin Syamsudin dan beberapa orang stafnya, kasus pengadaan kapal di Departemen Perhubungan yang mengakibatkan Bulyan Royan, salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat menjadi tersangka, yang terakhir adalah kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia yang mana pemeriksaannya terus bergulir hingga saat ini, bahkan Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah turut terseret dalam kasus ini sekalipun dalam kedudukannya sebagai saksi.
Demikian banyaknya kasus pengadaan barang dan jasa terjadi di Indonesia sehingga menurut data yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari semua kasus korupsi yang ditangani KPK pada periode 2006, 77%-nya adalah terkait pengadaan barang dan jasa, pada periode 2007 kasus pengadaan barang dan jasa masih tetap mendominasi kasus korupsi yang ditangani KPK serta periode 2008 diindikasikan kebocoran pengadaan barang dan jasa berkisar 30% – 50%, dengan total nilai sekitar Rp. 240 triliun.
Terkait kasus penyimpangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sekalipun jumlah kasusnya relatif kecil dibandingkan pengadaan barang dan jasa, tetapi secara nominal kerugian Negara masih tinggi. Beberapa kasus penyimpangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang pernah menjadi pemberitaan utama dibeberapa media cetak dan elektronik nasional di antaranya: kasus pengadaan tanah untuk kantor Komisi Yudisial, yang mana salah satu tersangkanya adalah anggota Komisi Yudisial Irawadi Joenoes, pengadaan tanah di Badan Pengawasan Teknologi Nuklir (Bapeten) dengan tersangka Hieronimus Abdul Salam (Sekretaris Utama Bapeten) dan Sugiyo Prasojo (Pimpinan Proyek Bapeten) serta pengadaan tanah untuk pelabuhan laut Tual, di Maluku Tenggara dengan tersangka Harun Let Let dan Tarcisius Walla yang menyebabkan Negara menderita kerugian lebih dari Rp. 10 milyar.
Apabila penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa, pelaksanaan kontrak serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum tetap terjadi tanpa disertai adanya upaya penanggulangan yang memadai, dikhawatirkan kerugian Negara akibat aktifitas illegal ini akan semakin besar yang pada akhirnya rakyatlah yang akan menderita, karena semua biaya untuk melaksanakan kegiatan tersebut sejatinya bersumber dari uang rakyat.
Polri sebagai salah satu institusi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, termasuk dalam pemeriksaan korupsi pengadaan barang/jasa, pelaksanaan kontrak serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum, tentunya dituntut berperan secara aktif dalam menanggulangi masalah ini melalui cara-cara yang profesional dan proporsional, dengan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum. Melalui peran ini diharapkan tidak saja korupsi di sektor pengadaan barang/jasa, pelaksanaan kontrak serta dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat dikurangi secara signifikan, tetapi yang lebih penting adalah kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri semakin meningkat.
Oleh karena itu, melalui tulisan singkat ini, kami mencoba untuk menguraikan sejauhmana peran Polri dalam penegakan hukum terkait korupsi khususnya dalam proses pengadaan barang/jasa, serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sehingga melalui uraian ini dapat diperoleh pemahaman yang tepat terkait berbagai upaya penanggulangan korupsi yang selama ini telah dilakukan oleh Polri.
B. Tugas dan Fungsi Kepolisian dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia, insitusi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi adalah Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilibatkannya beberapa institusi dalam penanggulangan tindak pidana korupsi disebabkan korupsi sudah masuk dalam kategori extra ordinary crime, sehingga penanggulangannya pun tentunya harus extra ordinary (luar biasa).
Terkait institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), landasan hukum yang menjadi dasar bagi institusi Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi adalah:
1. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Sejatinya, KUHAP tidak mengatur secara khusus kewenangan Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, mengingat KUHAP hanya mengatur kewenangan penyelidikan dan penyidikan Polri secara umum terhadap semua tindak pidana yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Namun demikian, ketentuan tersebut kiranya dapat menjadi dasar bagi Polri untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi. Adapun ketentuan yang dimaksud adalah:
- Dalam Pasal 1 angka 4 jo. angka 5, disebutkan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan, sedangkan penyelidikan berdasarkan Pasal 1 angka 5 yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
- Dalam Pasal 1 angka 1 jo. angka 2, disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Selanjutnya, Pasal 1 angka 2 menyatakan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Sekalipun dalam ketentuan di atas tidak secara eksplisit disebutkan pejabat Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi namun secara implisit terkandung makna bahwa polisi berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
2. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Sama halnya dengan ketentuan dalam KUHAP, dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tidak ada satu pasal pun yang secara tegas menyebutkan wewenang polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Ketentuan yang ada hanya menyatakan secara umum kewenangan polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan semua tindak pidana. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 14 ayat (1) huruf f yang menyebutkan: “Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penjelasan Pasal 14 ayat (1) huruf g menyatakan: Ketentuan undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Dengan mengacu pada kedua undang-undang di atas, nampak jelas bahwa dalam kasus korupsi, kedudukan aparat Polri adalah sebagai aparat penyelidik dan penyidik, untuk selanjutnya dari tindakan tersebut diserahkan kepada aparat kejaksaaan sebagai institusi Penuntut, yang mana dalam kasus korupsi pun kejaksaan dapat memainkan perananan sebagai penyelidik dan penyidik.
C. Penegakan Hukum dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dan pelaksanaan kontrak serta Pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak pengguna untuk mendapatkan atau mewujudkan barang dan jasa yang diinginkannya, dengan menggunakan metode dan proses tertentu. Agar hakikat pengadaan barang dan jasa dapat dilaksanakan dengan baik, masing-masing pihak harus tunduk pada etika serta norma yang berlaku terkait proses pengadaan barang dan jasa.
Pengadaan barang dan jasa melibatkan beberapa pihak, yaitu Pihak pembeli atau pengguna yaitu pihak yang membutuhkan barang dan jasa serta pihak penjual atau penyedia barang dan jasa. Dalam praktiknya, pihak pengguna adalah pihak yang meminta atau memberi tugas kepada pihak penyedia untuk memasok atau membuat barang atau melaksanaan pekerjaan tertentu, sedangkan pihak penjual atau penyedia barang dan jasa adalah pihak yang melaksanakan pemasokan atau mewujudkan barang atau melaksanakan pekerjaan atau melaksanakan layanan jasa berdasarkan permintaan atau perintah resmi atau kontrak pekerjaan dari pihak pengguna.
Agar pengadaan barang dan jasa dapat menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas, maka prosesnya harus sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati antara para pihak yang tertuang dalam perjanjian dengan tetap mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Namun dalam praktiknya, tidak sedikit pelaksanaan pengadaan barang dan jasa menyisakan permasalahan hukum, baik perdata maupun pidana. Pada saat permasalahan pengadaan barang dan jasa memasuki ranah perdata, tentunya penyelesaian dapat diselesaikan secara mediasi, negosiasi atau melalui gugatan perdata ke pengadilan, namun sebaliknya apabila permasalahan tersebut terindikasi mengandung unsur pidana, tentunya para pihak akan berhadapan dengan aparat penegak hukum, baik Kepolisian, Kejaksanaan maupun KPK.
Modus operandi penyimpangan yang dapat terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa sangat bervariasi mulai dari cara-cara sederhana hingga kompleks. Dari data serta pengamatan yang selama ini dihimpun, beberapa modus operandi yang biasa dilakukan oleh para pelaku terkait penyimpangan pelaksanan pengadaan barang dan jasa, di antaranya: mark up, penunjukan secara langsung pemenang tender, pemalsuan dokumen, penyuapan. Bahkan, disinyalir mayoritas proyek pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan bukan karena proyek tersebut sungguh-sungguh dibutuhkan, tetapi karena proyek itu merupakan titipan dari/oleh penguasa, sehingga spesifikasi barang/jasa serta harga perkiraan sendiri yang seharusnya dibuat panitia sesungguhnya adalah spesifikasi yang diatur dan harga yang ditetapkan orang lain.
Dalam pelaksanaan kontrak, penyimpangan yang terjadi biasanya dalam wujud ketidaksamaan antara volume proyek yang dikerjakan oleh pihak rekanan dengan yang tercantum dalam kontrak, mutu/kualitas pekerjaan lebih rendah dari ketentuan dalam spesifikasi teknis, mutu/kualitas pekerjaan tidak sama dengan spesifikasi teknis, perubahan kontrak yang terjadi sebagai akibat adanya komitmen yang mengandung unsur KKN. Jika selama ini muncul kesan bahwa pelaku usaha tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar melakukan tindak pidana korupsi, maka dalam konteks pelaksanaan kontrak (pengadaan barang dan jasa) pelaku usaha juga dapat dituntut melakukan korupsi, tentunya tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha ini tidak berdiri sendiri tetapi melibatkan unsur pengelola pengadaan, khususnya penerima barang atau jasa (pekerjaan).
Terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dasar hukumnya mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah suatu kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah (Pasal 1 angka 3). Selanjutnya, pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah, atau dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan, sedangkan yang termasuk dalam kualifikasi pembangunan untuk kepentingan umum adalah:
- jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
- waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
- rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
- pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
- peribadatan;
- pendidikan atau sekolah;
- pasar umum;
- fasilitas pemakaman umum;
- fasilitas keselamatan umum;
- pos dan telekomunikasi;
- sarana olah raga;
- stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
- kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
- fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
- lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
- rumah susun sederhana;
- tempat pembuangan sampah;
- cagar alam dan cagar budaya;
- pertamanan;
- panti sosial;
- pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.
Seperti halnya proses pengadaan barang/jasa, dan pelaksanaan kontrak, dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum pun tidak luput dari aktivitas menyimpang di antaranya melalui cara: pengadaan tanah yang menyalahi prosedur sebagaimana yang dinyatakan dalam undang-undang, menjual tanah kepada Negara dengan harga yang relatif tinggi melebihi harga pasaran, kolusi antara panitia dengan pemilik tanah, dan sebagainya.
Terkait peran Polri dalam penegakan hukum pengadaan barang/jasa, pelaksanaan kontrak serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum, beberapa wewenang yang diberikan kepada aparat Polri berdasarkan KUHAP dan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, adalah:
- Menerima laporan dan/atau pengaduan terkait adanya kasus korupsi;
- Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
- Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
- Membawa atau menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
- Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
- Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
- Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan;
- Mengadakan penghentian penyidikan;
- Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
- Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Mengingat wewenang sebagaimana disebutkan di atas potensial untuk disalahgunaan serta dalam rangka menjungjung tinggi supremasi hukum serta hak asasi manusia, maka penyidik diwajibkan untuk membuat berita acara pelaksanaan tindakan sebagaimana disyaratkan oleh KUHAP, yaitu:
- Pemeriksaan tersangka;
- Penangkapan;
- Penahanan;
- Pengeledahan;
- Pemasukan rumah;
- Penyitaan benda;
- Pemeriksaan surat;
- Pemeriksaan ditempat kejadian;
- Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
- Pelaksanaan tindakan lain sesuai ketentuan KUHAP.
D. Ketentuan dalam KUHAP dan KUHP
Perbuatan korupsi, baik dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, pelaksanaan kontrak serta pengadaan tanah untuk kepentingan umum, lajimnya dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan banyak pihak, mengingat aktivitas tersebut sejatinya merupakan hasil dari sebuah proses panjang dengan disertai adanya keterlibatan instansi lain di dalamnya. Sebagai contoh, dalam korupsi pengadaan barang dan jasa, mustahil akan terjadi korupsi apabila hanya dilakukan oleh pihak pengguna saja tanpa adanya keterlibatan penyedia barang/jasa, begitu pula dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dapat dipastikan korupsi akan terjadi karena adanya campur tangan pihak penyedia tanah dan pengguna tanah. Hal yang sama dijumpai dalam penyimpangan pelaksanaan kontrak, karena pengertian kontrak sendiri sejatinya bermakna perjanjian yaitu adanya hubungan hukum diantara 2 (dua) pihak, sehingga mustahil ada perjanjian apabila hanya ada satu pihak saja yang terlibat di dalamnya.
Oleh karena itu, beberapa ketentuan dalam KUHP yang memiliki kaitan erat dengan tindak pidana korupsi, lebih banyak terkait dengan adanya kerjasama di antara para pelaku korupsi, di antaranya:
- Pasal 55 ayat (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
- mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
- mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
- Pasal 56, dipidana sebagai pembantu kejahatan:
Ayat (1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
Ayat (2) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Ketentuan dalam KUHAP yang terkait tindak pidana korupsi memiliki kesamaan dengan pemeriksanaan dalam kasus tindak pidana pada umumnya karena KUHAP lebih banyak mengatur mengenai tata cara atau prosedur pemeriksaan. Di samping itu, dalam KUHAP diatur tentang hak-hak dari saksi dan atau tersangka, seperti hak untuk didampingi oleh penasihat hukum, untuk mengajukan upaya hukum, serta hak-hak lain sebagai wujud perlindungan hak asasi manusia.
E. Penutup
Peluang terjadinya tindak pidana korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan kontrak dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, akan terus mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun sebagai akibat dari lemahnya sistem pengawasan yang ada. Oleh karena itu, untuk mengatasinya diperlukan penguatan sistem pengawasan internal dan eksternal, salah satunya melalui pengembangan sistem e-procurement dan e-announcement, dimana semua proses pelaksanaan pengadaan akan diinformasikan secara transparan dan fair melalui pemanfaatan teknologi informasi, mulai dari pengumuman rencana pengadaan, pengumuman lelang, peserta lelang, dan pengumumam pemenang lelang, sehingga pihak-pihak terkait dapat turut mengawasinya.
Apabila sistem pengawasan yang ideal belum juga dapat dihadirkan guna mengurangi kasus penyimpangan (korupsi), maka penerapan sanksi pidana yang tegas dapat dijadikan sebagai instrumen terakhir agar dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi, sehingga kebocoran uang negara yang selama ini timbul dapat dikurangi dan yang terpenting adalah kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan.(elsatris)