SENKOM BONDOWOSO

SENKOM MITRA POLRI BEKERJA SEPENUH HATI, MENEMBUS JARAK TANPA BATAS
Selamat Datang di WebBlog Senkom Mitra Polri Kabupaten Bondowoso



TEKAD SENKOM

TEKAD SENKOM
Adib Trihudoyo Soebronto : sentra komunikasi mitra polri wahana pembangun idealisme, siap bantu wujudkan keamanan dan keteriban masyarakat melalui media informasi komunikasi

Total Tayangan Halaman


Diberdayakan oleh Blogger.

FESTIVAL MUHARRAM

FESTIVAL MUHARRAM
MAJULAH BONDOWOSOKU

Foto saya
Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia
Sentra Komunikasi (SENKOM) Mitra Polri Kabupaten Bondowoso adalah Organisasi wahana pembangun idealisme, organisasi terstruktur secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah. SENKOM adalah organisasi resmi yang dilindungi oleh Undang-Undang, selalu berkoordinasi dengan SENKOM Pusat dan SENKOM Provinsi Jawa Timur serta unsur POLRI dan Unsur Pemerintah sebagai mitra, sehingga kegiatan, Visi, Misi Organisasi tersinkronisasi terarah dan terpadu.

Pengikut

TARUNA


ShoutMix chat widget

taruna di Yahoo..!

Sat Pol PP dalam Pembinaan dan Penegakan Hukum di Tingkat Daerah


Permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat dewasa ini menjadi topik yang paling banyak dibicarakan di semua tingkatan masyarakat, mulai dari tingkat bawah hingga ke tingkat atas.
Maraknya masalah keamanan dan ketertiban untuk dibicarakan tentunya bukan tanpa sebab, banyak alasan yang melatarbelakanginya, salah satunya adalah mulai meningkatnya angka gangguan keamanan (kriminalitas) yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Apabila dimasa lalu tindak kriminal banyak bermunculan di kota-kota besar, belakangan ini masyarakat perdesaan pun, yang selama ini digambarkan sebagai masyarakat yang aman, tertib, dan tenang, harus merasakannya. Tidak berlebihan apabila dewasa ini tindak kriminalitas yang terjadi di perkotaan dapat terjadi pula di perdesaan, sebut saja kasus pembunuhan, penculikan hingga kasus video porno yang melibatkan pelajar sekolah menengah.
Menghadapi marak kasus-kasus kriminal, mendorong perlunya diambil langkah-langkah antisipatif agar perkembangan tindak kriminal tidak semakin meluas. Beberapa upaya yang telah dilakukan guna menekan angka kriminalitas, di antaranya: meningkatkan deteksi dini guna mencegah berkembangnya tindak kriminalitas, sosialisasi mengenai pentingnya Kamtibmas selalu dipelihara oleh masyarakat, sampai dengan pembentukan lembaga pengamanan swakarsa yang dibentuk atas inisiatif dari masyarakat sendiri.
Berkaitan dengan adanya lembaga pengamanan swakarsa yang dibentuk atas kemauan masyarakat sendiri, Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai undang-undang yang menjadi dasar pijakan yuridis dalam hal pemeliharaan keamanan dalam negeri, telah memberikan kemungkinan dibentuknya lembaga ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1c) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan: Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: a. kepolisian khusus b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Agar pelaksanaan fungsi kepolisian yang dilakukan oleh aparat lain di luar Polri tidak tumpang tindih dengan fungsi kepolisian yang dilakukan oleh Polri, khususnya dalam rangka memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, maka Pasal 14 ayat 1f Undang-undang No. 2 Tahun 2002 telah memberikan pedoman bahwa fungsi pemolisian (yang dilakukan oleh institusi di luar Polri) harus tetap dalam koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis oleh Polri.
Salah satu lembaga di luar Polri yang mempunyai tugas melaksanakan fungsi kepolisian adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP), sebagai perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum.
Diberikannya kewenangan pada Sat Pol PP untuk melaksanakan tugas pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum tidak saja berpijak dari Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tetapi juga amanat dari Pasal 13 huruf c dan Pasal 14 huruf c Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada pokoknya menyebutkan: Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten/kota) adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Dalam penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 34 Tahun 2004 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat termasuk penyelenggaraan perlindungan masyarakat.
Nampak jelas, bahwa dari ketentuan-ketentuan di atas sejatinya ada beberapa tugas pokok Polri yang diselenggarakan oleh Sat Pol PP, sekalipun berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja tugas Sat Pol PP lainnya adalah menegakkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah (Pasal 3).
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai aparat pemelihara dan penyelenggara ketenteraman dan ketertiban umum serta penegak Peraturan Daerah dan Keputusan Daerah, maka berdasarkan Pasal 5 PP No. 32 Tahun 2004, Sat Pol PP diberi wewenang:
a. Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap warga masyarakat atau badan hokum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah;
c. Melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
Terbitnya PP No. 32 Tahun 2004 yang diharapkan menjadi pedoman bagi aparat Sat Pol PP dalam melaksanakan kewenangannya, ternyata dalam praktiknya tidak mampu mencegah terjadinya tarik menarik kewenangan dalam pelaksanaan fungsi kepolisian antara aparat Sat Pol PP dan aparat Polri. Akibatnya sering dijumpai aparat Sat Pol PP yang melakukan tugas penertiban yang sejatinya merupakan wewenang dari Polri, seperti melakukan penertiban penyakit masyarakat.
Dengan memperhatikan munculnya disharmoni antara aparat Polri dan Sat Pol PP dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing, tentunya masyarakat sebagai pihak yang berhak atas jaminan keamanan dan ketertiban umum akan mengalami kebingungan, bahkan kondisi ini dapat dipergunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan penyalahgunaan wewenang.
Dengan memperhatikan munculnya tarik menarik kewenangan dalam pelaksanaan fungsi kepolisian, antara aparat Sat Pol PP dan aparat Polri, yang akan bermuara pada menurunnya kredibilitas aparat penegak hukum dimata masyarakat, maka perlu diluruskan kembali implementasi tugas Sat Pol PP agar sesuai dengan koridor undang-undang.
Eksistensi Peraturan Pemerintah No. 32 TAHUN 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja
PP No. 32 Tahun 2004 merupakan pedoman bagi aparat Sat Pol PP dalam menjalankan tugasnya sebagai aparataur pemerintah daerah yang melaksanakan tugas Kepala daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakan Peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Pada dasarnya, Sat Pol PP dibentuk sebagai implementasi dari tugas pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) untuk menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 148 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyebutkan: Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Pertanyaannya, apakah dengan dibentuknya Sat Pol PP, secara otomatis tugas-tugas kepolisian yang selama ini dilaksanakan oleh aparat Polri dapat diambil alih, dengan perkataan lain, apakah peran Polri sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri, dapat digantikan oleh Sat Pol PP? jawabannya jelas dan tegas tidak.
Ada beberapa alasan yang mendasari jawaban tersebut:
1. Dasar Pembentukan Pol PP
Apabila memperhatikan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 yang memberikan ruang bagi dibentuknya lembaga pengemban fungsi kepolisian di luar Polri, jelas terlihat bahwa eksistensi lembaga-lembaga tersebut hanya berperan sebagai “pembantu” Polri, artinya lembaga-lembaga tersebut dalam menjalankan fungsi kepolisian sifatnya pasif atau sekedar mendukung tugas-tugas yang dijalankan oleh Polri. Dengan kata lain, sepanjang Polri mampu menjalankan tugasnya sendiri tentunya bantuan yang dimaksud tidak diperlukan lagi, sehingga tidak tepat apabila lembaga-lembaga tersebut bersifat aktif dalam menjalankan fungsi kepolisian.
Dikaitkan dengan tugas Sat Pol PP dalam menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, kesan yang muncul justru sebaliknya, aparat Sat Pol PP sering bertindak tanpa berkoordinasi dengan aparat Polri bahkan terkesan mengambil alih peran Polisi yang sejatinya merupakan koordinator, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f Undang-undang No. 2 Tahun 2002;
2. Tugas Sat Pol PP
Pasal 3 PP No. 32 Tahun 2004 menyatakan tugas Sat Pol PP adalah memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah. Dengan memperhatikan ketentuan ini jelas bahwa kedudukan Sat Pol PP adalah sebagai lembaga penegak hukum, terlebih apabila Sat Pol PP juga bertindak sebagai Penyidik Pegawai negeri Sipil (PPNS). Kedudukan Sat Pol PP tersebut memunculkan kerancuan mengingat Sat Pol PP sejatinya merupakan lembaga eksekutif karena lembaga ini merupakan aparatur pemerintahan daerah yang melaksanakan tugas kepala daerah (Pasal 1 angka 5 PP No. 32 Tahun 2004) dan bertanggung jawab kepada kepala daerah (Pasal 1 angka 6 PP No. 32 Tahun 2004), sedangkan dalam praktiknya Sat Pol PP melakukan tugas sebagai penegak hukum. Pertanyaannya, apakah dengan kedudukan tersebut, khususnya sebagai penegak hukum, Sat Pol PP dapat melaksanakan tugasnya secara professional tanpa terpengaruh oleh tekanan eksekutif.
3. Kewajiban Sat Pol PP
Pasal 7 huruf a PP No. 32 Tahun 2004 menyebutkan Polisi Pamong Praja wajib untuk menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma sosial lainnya yang hidup dan berkembang dimasyarakat.
Apabila memperhatikan pasal di atas jelas bahwa menjunjung tinggi norma hukum merupakan kewajiban utama bagi setiap anggota Pol PP dalam menjalankan tugasnya. Norma hukum yang dimaksud tentunya bermakna luas, termasuk diantaranya norma hukum yang ada di dalam undang-undang lain. Karena itu, sejatinya sebagai implementasi dari upaya menjunjung tinggi norma hukum anggota Sat Pol PP juga harus memperhatikan Undang-undang No. 2 Tahun 2002, KUHAP serta undnag-undan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Sat Pol PP;
4. Kewenangan Sat Pol PP
Pasal 5 huruf a menyatakan Polisi Pamong Praja berwenang untuk menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang menganggu ketenteraman dan ketertiban umum, sedangkan Penjelasan Pasal 5 huruf a menyatakan: Yang dimaksud dengan menertibkan adalah tindakan dalam rangka menumbuhkan ketaatan warga masyarakat agar tidak melanggar ketenteraman dan ketertiban umum serta peraturan daerah dan keutusan kepala daerah. Apabila memperhatikan kalimat”menumbuhkan ketaatan warga” pada penjelasan di atas, seharusnya Sat Pol PP lebih menonjolkan aspek preventif dari pada represif dalam melaksanakan tugasnya. Namun yang terjadi selama ini tindakan represif (non yustisial) lebih banyak dikedepankan.

0 komentar: