SENKOM BONDOWOSO

SENKOM MITRA POLRI BEKERJA SEPENUH HATI, MENEMBUS JARAK TANPA BATAS
Selamat Datang di WebBlog Senkom Mitra Polri Kabupaten Bondowoso



TEKAD SENKOM

TEKAD SENKOM
Adib Trihudoyo Soebronto : sentra komunikasi mitra polri wahana pembangun idealisme, siap bantu wujudkan keamanan dan keteriban masyarakat melalui media informasi komunikasi

Total Tayangan Halaman


Diberdayakan oleh Blogger.

FESTIVAL MUHARRAM

FESTIVAL MUHARRAM
MAJULAH BONDOWOSOKU

Foto saya
Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia
Sentra Komunikasi (SENKOM) Mitra Polri Kabupaten Bondowoso adalah Organisasi wahana pembangun idealisme, organisasi terstruktur secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah. SENKOM adalah organisasi resmi yang dilindungi oleh Undang-Undang, selalu berkoordinasi dengan SENKOM Pusat dan SENKOM Provinsi Jawa Timur serta unsur POLRI dan Unsur Pemerintah sebagai mitra, sehingga kegiatan, Visi, Misi Organisasi tersinkronisasi terarah dan terpadu.

Pengikut

TARUNA


ShoutMix chat widget

taruna di Yahoo..!

MENINGKATKAN KOORDINASI ANTAR INSTITUSI PENEGAK HUKUM SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN KEMITRAAN (PARTNERSHIP BUILDING)


A. Pendahuluan
Dimasa lalu banyak pihak mengkritisi kinerja Polri terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya selaku aparatur Negara pengemban fungsi pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini muncul mengingat pada masa itu kinerja aparat Polri bagi sebagian pihak dianggap kurang trengginas, kurang responsif dan tidak professional, bahkan terkesan militeristik, khususnya dalam mengatasi berbagai permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat.
Seiring dengan berpisahnya Polri dari TNI pada 1 April 1999, harapan masyarakat agar Polri mampu menampilkan performa yang ideal sebagaimana dambaan masyarakat, semakin deras digulirkan. Karena itu, Polri dari waktu ke waktu secara konsisten dan konsekwen melakukan berbagai pembenahan di segala aspek menuju Polri yang mandiri. Kemandirian Polri tersebut bukan dimaksudkan untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang tertutup dan berorientasi ego sektoral tanpa menjalin relasi dengan institusi lain, namun dimaksudkan guna mendukung terwujudnya profesionalisme dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai abdi Negara yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Berbagai upaya untuk melaksanakan kemandirian Polri telah banyak digulirkan, di antaranya dengan mengadakan perubahan pada tiga aspek yaitu:
  1. Struktural, yang mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan;
  2. Instrumental, mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek; serta
  3. Kultural meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional.
Perlunya Polri untuk secara konsisten dan konsekwen melakukan pembenahan bertujuan agar Polri mampu menjaga eksistensinya di tengah perubahan lingkungan yang begitu cepat, mengingat Polri dalam kiprahnya senantiasa dihadapkan pada beragam tantangan yang semakin berat dan kompleks. Sekalipun demikian, ditengah-tengah pembenahan yang dilakukan Polri menuju performa yang professional, bermoral, dan moden, tidak jarang Polri harus berhadapan dengan kritikan/cacian dari masyarakat, terkait performa dari anggota/institusi yang dianggap belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Sorotan masyarakat bahwa anggota Polri belum mampu menampilkan sosok professional,  terkesan terlalu berlebihan karena sesungguhnya mengabaikan berbagai prestasi yang pernah ditorehkan, seperti pengungkapan berbagai kasus teror bom yang terjadi di tanah air atau penangkapan para anggota sindikat narkotika internasional. Karena itu, peribahasa yang menyebut “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, nampaknya pantas diarahkan pada institusi Polri.
Munculnya kesan bahwa anggota Polri kurang professional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya selaku aparat penegak hukum, sejatinya tidak dapat dibebankan kepada anggota/institusi Polri semata, namun dipengaruhi pula oleh faktor eksternal, di antaranya koordinasi yang lemah dan kurang sinergis dengan instansi penegak hukum (penyidik) lainnya. Sebagaimana diketahui berdasarkan sistem hukum nasional, di luar Polri banyak institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana. Akibat lemahnya koordinasi antar institusi penegak hukum menyebabkan munculnya tarik menarik kewenangan antara instansi penegak hukum yang pada akhirnya bermuara pada melemahnya proses penegakan hukum secara keseluruhan.
Dalam praktik penegakan hukum, bukan hal aneh apabila aparat Polri harus “berhadapan” dengan aparat penegak hukum lainnya dalam proses penyidikan suatu perkara pidana. Misalnya Polri dengan Kejaksaan, dalam menangani kasus korupsi, Polri dengan TNI Angkatan Laut  dalam menangani kasus pidana di wilayah perairan, serta Polri dengan PPNS, untuk penanganan kasus tindak pidana khusus, seperti kasus Hak atas Kekayaan Intelektual, Kehutanan, Kepabeanan, dan sebagainya,
Kondisi disharmonis antara aparat penyidik Polri dengan penyidik pada institusi lain, dapat dipastikan akan memunculkan persepsi negatif terkait  kinerja lembaga-lembaga tersebut, yang pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap  hukum (termasuk aparat penegak hukum). Padahal, peran aparatur penegak hukum dalam konteks penegakan hukum menempati posisi yang sangat strategis dan menentukan menuju terciptanya supremasi hukum.
Kondisi disharmonis antar aparat penegak hukum dalam menanganani kasus-kasus pidana, sejatinya telah memperoleh perhatian utama dari Pimpinan Polri, sehingga tidak berlebihan apabila dalam Grand Strategi Polri 2005-2025, khususnya pada tahapan kedua yaitu tahapan Membangun Kemitraan (Partnership Building), masalah harmonisasi penegakan hukum antar Polri dengan instutusi penegak hukum lainnya menjadi salah satu issu sentral yang memerlukan pembenahan segera.
Oleh karena itu, memandang pentingnya terwujud koordinasi yang sinergis antar aparat penegak hukum, khususnya dalam kerangka penegakan hukum, sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan/kemitraan (partnership building), maka perlu disusun strategi guna peningkatan koordinasi antar instansi penegak hukum.
B. Kondisi koordinasi lintas instansi dalam penegakan hukum di Indonesia
Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangatlah strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya  tugas pencarian kebenaran materiil. Melalui proses penyidikan upaya penegakan hukum berawal. Karena itu,  kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana perlu memperoleh kejelasan, tidak saja terkait institusi mana yang berwenang menyidik tetapi juga seberapa luas kewenangan tersebut dilaksanakan, guna menghindari munculnya tarik menarik kewenangan yang potensial menyebabkan terlanggarnya rasa keadilan masyarakat.
Diberikannya kewenangan pada institusi lain untuk terlibat dalam proses penyidikan sejatinya telah memiliki dasar pijakan yuridis, baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyatakan: Penyidik adalah:
  1. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia
  2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Sedangkan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyebutkan Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh:
  1. Kepolisian khusus;
  2. Penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau
  3. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Sebagai implementasi dari undang-undang di atas, telah banyak institusi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, antara lain:
  1. Aparat kejaksaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d. Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yang menyebutkan: Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.
  2. Perwira TNI AL, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya Pasal 14 ayat (1) yang menyebutkan: Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia”.
  3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan Pasal 31 ayat (1) juga menunjuk Perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI AL) sebagai penyidik dalam tindak pidana di area Zone Ekonomi Eksklusif;
  4. Pejabat Bea dan Cukai sebagai penyidik berdasarkan Pasal 112 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
  5. Pasal 89 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menegaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek.
Diberikannya kewenangan pada institusi lain untuk melakukan penyidikan, di satu sisi akan memudahkan dalam pengungkapan suatu kasus tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat penyidik kepolisian dalam melaksanakan tugas penyidikan, seperti kendala sumber daya manusia, sarana-prasarana,  anggaran, dan sebagainya, sehingga  keterlibatan institusi tersebut dalam tugas penyidikan dapat membantu proses penegakan hukum. Namun di sisi lain hal tersebut dapat menimbulkan kondisi disharmonis yang memicu terjadinya tarik menarik kewenangan antar institusi, dan bermuara pada terhambatnya proses penegakan hukum.
Tarik menarik kewenangan dalam melakukan penyidikan sudah banyak dijumpai dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, yang paling banyak terjadi adalah antara aparat Polri dengan instansi lain, seperti Kejaksaan, dan PPNS. Adanya, tarik menarik kewenangan ini justru dimanfaatkan oleh pihak yang diperiksa (tersangka) untuk mengambil keuntungan, sebagaimana terjadi pada kasus gugatan praperadilan yang dilakukan oleh kuasa hukum Abdul Waris Halid, tersangka kasus gula import, terhadap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Badan Reserse Kriminal Polri Cq. Direktur II Ekonomi dan Khusus. Sebagaimana kita ketahui bersama, akhir dari proses ini pihak Mabes Polri dikalahkan dalam praperadilan tersebut.
Contoh lain adalah dalam penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi. Diberikannya kewenangan kepada aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyidik kasus korupsi ternyata tidak menyebabkan kasus korupsi semakin berkurang malahan yang muncul adalah tarik menarik kewenangan antar intitusi yang berdampak pada terhambatnya proses penegakan hukum. Misalnya di Pengadilan Negeri Ciamis pernah terjadi seorang tersangka kasus korupsi dibebaskan pengadilan karena hakim memandang bahwa institusi yang berwenang untuk menyidik adalah kejaksaan bukan kepolisian akibatnya tersangka dibebaskan.
Sungguh ironis, penegakan hukum terhambat hanya karena masing-masing institusi mempertahankan ego sektoral sehingga rasa keadilan masyarakat harus dikorbankan. Melihat fenomena penegakan hukum seperti ini sudah dapat dipastikan bahwa masyarakat akan meragukan tegaknya wibawa hukum di tanah air. Namun inilah potret penegakan hukum di negara kita.
Apabila kondisi di atas tidak segera dibenahi dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakjelasan arah penegakan hukum, tidak saja dikalangan masyarakat pencari keadilan tetapi juga dikalangan institusi penyidik itu sendiri, karena masing-masing institusi penyidik takut melakukan tindakan hukum, yang pada akhirnya akan berakibat pada munculnya kelambatan dalam pemeriksaan dan penuntutan suatu tindak pidana.
Beberapa faktor penyebab yang menurut penulis menjadi pemicu munculnya kondisi disharmonis, di antaranya:
  • Kemampuan aparat penyidik Polri masih belum memadai sebagaimana yang diharapkan, baik secara kualitas (penguasaan teknis dan taktis penyidikan) maupun kuantitas (ratio ketersediaan aparat penyidik dengan kasus yang ditangani serta penyebaran jumlah penyidik). Selain itu, kelemahan sumber daya manusia dapat pula muncul dari aspek cultural yaitu sikap-sikap aparat penyidik yang arogan, tidak memiliki sifat melayani, manipulatif, diskriminatif dan sebagainya.
  • Koordinasi lintas instansi belum berjalan secara sinerjis. Indikatornya, pembagian tugas dan tanggung jawab penyidikan dalam kasus tertentu masih dirangkap oleh aparat kejaksaan, yang sejatinya merupakan institusi penuntut, serta  institusi di luar kerangka CJS (Criminal Justice System), misalnya penyidik TNI AL. Di samping itu,  pelaksanaan koordinasi antar aparat penegak hukum dengan PPNS belum berjalan dengan baik, sehingga dilapangan masih muncul tarik menarik kewenangan untuk melakukan pernyidikan;
  • Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi penyidik dalam menjalankan kewenangannya masih menyisakan beragam permasalahan, seperti:
  1. Adanya perundang-undangan yang bertentangan satu dengan yang lain, baik dari aspek substansi maupun hierarkinya (ketentuan yang statusnya di bawah bisa bertentangan/mengalahkan ketentuan yang lebih tinggi, misalnya: peraturan pemerintah (PP/KEPPRES) bertentangan dengan undang-undang);
  2. Masih banyak peraturan perundang-undangan yang berasal dari produk zaman Belanda sehingga tidak mampu mengakomodir perkembangan yang ada, namun eksistensinya tetap dipertahankan;
  3. Masih ditemukan perundang-undangan yang mengamanatkan segera dibentuknya peraturan pelaksana namun sampai sekarang belum dibentuk;
  4. Masih ada perundang-undangan yang substansinya tidak jelas sehingga memunculkan multitafsir.
C. Strategi penegakan hukum di Indonesia
Memperhatikan pada munculnya disharmonis dalam penegakan hukum, khususnya pada pelaksanaan wewenang penyidikan antar institusi penyidik, maka perlu ditetapkan strategi penanggulangannya agar dapat terwujud kepastian hukum, yang dilakukan melalui penetapan Kebijakan, Strategi, dan Upaya.
1. Kebijakan
Dengan memperhatikan koordinasi penegakan hukum antar institusi di Indonesia yang belum sesuai dengan harapan, maka perlu dirumuskan kebijakan sebagai berikut: “Mewujudkan koordinasi yang sinergis antar institusi penegak hukum melalui peningkatan sumber daya manusia, perbaikan koordinasi antar institusi penegak hukum serta pembentukan dan perbaikan perundang-undangan terkait dengan penegakan hukum, sebagai upaya membangun kemitraan (partnership building).
2. Strategi
Berdasarkan landasan kebijakan di atas, dirumuskan berapa strategi, yaitu:
  1. Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka terwujudnya aparat penegak hukum yang professional;
  2. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas institusi yang sinergis;
  3. Mengupayakan pembentukan dan/atau perbaikan peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum.
3. Upaya
Dalam rangka mewujudkan strategi yang telah ditentukan, upaya yang dapat dikembangkan, antara lain:
Strategi 1.  Meningkatkan kualitas aparat penegak hukum dalam rangka terwujudnya aparat penegak hukum yang professional, diwujudkan melalui upaya:
1)              Memberikan  kesempatan pada aparat penegak hukum untuk mengikuti pendidikan dan kejuruan;
2)           Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan antar sesama aparat penyidik dalam kasus-kasus tertentu agar diperoleh persamaan persepsi dalam penanganan kasus pidana;
3)           Kerjasama dengan perguruan tinggi untuk memberikan pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan pengetahuan aparat penyidik terkait pelaksanaan tugas;
4)            Mengembangkan sistem manajemen sumber daya manusia yang transparan dan professional;
5)           Menetapkan pedoman dan prosedur pembinaan anggota;
6)           Pengawasan terhadap kinerja aparat penegak hukum secara fair.
Strategi 2. Meningkatkan koordinasi antar institusi penegak hukum guna terciptanya hubungan lintas instansi yang sinergis yang dilakukan melalui upaya:
1)               Melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah yang timbul terkait koordinasi lintas instansi.
2)             Meningkatkan pembentukan lembaga kerjasama antar instansi terkait;
3)             Membentuk lembaga pengawas yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas masing-masing institusi;
4)             Melakukan integrasi dan sinkronisai pelayanan masyarakat agar mekanisme pelayanan dapat berjalan dengan sederhana, cepat dan tidak tumpang tindih;
5)             Masing-masing instansi bertemu secara periodik baik formal maupun informal untuk membicarakan berbagai permasalah yang timbul terkait masalah koordinasi sekaligus menemukan solusinya;
6)             Peningkatan forum diskusi dan pertemuan antar aparat penegak hukum yang bertujuan untuk memperoleh kesamaan pandang dalam melaksanakan tugas penyidikan;
7)              Menyusun MoU yang berisikan kerjasama dan koordinasi lintas instansi terkait penegakan hukum.
Strategi 3. Mengupayakan pembentukan dan/atau perbaikan peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum guna mewujudkan kepastian hukum. Diwujudkan melalui upaya:
1)               Membentuk kelompok kerja khusus yang bertugas untuk melakukan pengkajian terhadap  peraturan perundang-undangan yang dianggap menjadi penyebab munculnya kondisi disharmonis antar aparat penegak hukum;
2)             Melakukan inventarisasi terhadap beberapa produk perundang-undangan yang dianggap sebagai penyebab munculnya kondisi disharmoni;
3)             Menyusun pokok-pokok pikiran dan Naskah Akademik terkait koordinasi antara aparat penegak hukum;
4)             Melakukan konsultasi atau temu wicara dengan pakar hukum pidana guna memperoleh masukan terkait kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan;
5)             Mengadakan seminar atau workshop atau pertemuan ilmiah lainnya yang diselenggarakan baik secara mandiri maupun bekerjasama dengan perguruan tinggi dengan topik koordinasi lintas instansi dalam penyidikan kasus tindak pidana;
6)             Melakukan studi banding kenegara-negara yang sudah memiliki kerangka  kerjasama dan koordinasi antar aparat penegak hukum yang baik;
7)              Mengkaji ulang berbagai perangkat hukum yang selama ini menjadi sumber munculnya tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum antar aparat penegak hukum, menyusun pokok pokok pikirannya, naskah akademiknya untuk kemudian disiapkan draft   amandemennya;
8)             Mengusulkan pengubahan atau penggantian perundang-undangan yang dipandang menghambat sinergitas antar instansi;
9)             Melakukan judicial review ke Mahkamah Agung terkait adanya undang-undang yang saling bertentangan;
10)           Mengalokasikan/meningkatkan anggaran untuk pengakajian undang-undang.

D.       Penutup
Upaya mengedepankan Polri dalam kerangka penegakan hukum sesungguhnya mengandung konsekwensi kebijakan yang luas dan memiliki implikasi politis yang tidak ringan. Menempatkan kedudukan Polri sebagai pintu gerbang proses dimulainya penegakan  hukum tidak  cukup hanya dengan adanya pemisahan Polri dari TNI. Yang lebih penting adalah pengembalian wewenang yaitu mengembalikan seluruh kewenangan yang seharusnya berada di tangan Polri, dan menghilangkan semua tugas/fungsi yang semestinya tidak diemban oleh Polri.
Konsekwensi dari pengembalian wewenang tersebut adalah munculnya kebutuhan untuk memberdayakan Polri di segala bidang, sehingga Polri mampu menangani segala jenis hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan yang dihadapi masyarakat, yang pada akhirnya akan bermuara pada terwujudnya kepercayaan masyarakat.(elsatris)

0 komentar: