Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) kembali dibanjiri kritik tajam. Belum selesai pengungkapan berbagai kasus kriminal yang disinyalir melibatkan beberapa oknum Polri di dalamnya, Polri disorot terkait penyerangan yang dilakukan beberapa anggota kepolisian ke Kampus Universitas Haluoleo, Kendari, beberapa hari yang lalu. Konon, penyerangan oleh aparat kepolisian merupakan sikap balasan karena beberapa hari sebelumnya beberapa mahasiswa universitas tersebut melakukan penyanderaan terhadap anggota Polri.
Terlepas dari apa yang menjadi latarbelakang aksi penyerangan yang dilakukan aparat kepolisian, apakah sebagai bagian dari tugas polisi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat atau sekedar sprit de corps, semangat setia kawan sesama anggota Polri, sejatinya tindakan tersebut tidak boleh terjadi, mengingat salah satu tugas pokok dari Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, bukan justru menjadi pemicu munculnya gangguan Kamtibmas. Korps polisi, semestinya benar-benar memegang prinsip to serve and to protect, ketika berhadapan dengan masyarakat.
Munculnya kasus penyerangan tersebut sungguh ironis, justru terjadi di tengah-tengah berbagai pujian dan sanjungan yang dialamatkan pada insan bhayangkara terkait kemampuannya dalam mengungkap jaringan peredaran narkotika internasional, yang terjadi di beberapa daerah. Kasus penyerangan tersebut seakan membenarkan pepatah yang menyebutkan “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, karena tindakan-tindakan sebagian kecil oknum polisi di Kendari menyebabkan beberapa prestasi aparat kepolisian secara nasional seakan tertutupi.
Munculnya berbagai kasus sebagaimana digambarkan di atas tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan terkait komitmen Polri untuk senantiasa berupaya menampilkan paradigma baru dalam berperilaku dan bertindak. Tindakan sebagian anggota Polri tersebut seakan mempertanyakan kembali komitmen Polri yang konon sejak terpisah dari TNI, berupaya hendak mengubah perilakunya menuju pada Polisi Sipil, polisi yang sopan dan dicintai masyarakat.
Sebelum munculnya kasus penyerangan mahasiswa di Universitas Huluoleo Kendari, sebetulnya berbagai sorotan kritis yang diarahan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah banyak terjadi. Pada laporan akhir tahun 2007, Komisi Ombudsman Nasional (KON) merilis laporan yang menyatakan Polri sebagai lembaga yang paling banyak dikeluhkan masyarakat, khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Begitu pula Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International (TI), menilai Polri sebagai lembaga dengan indeks persepsi korupsi (IPK) tertinggi, yaitu 4,2. Contoh di atas merupakan sorotan pada institusi Polri, sedangkan sorotan pada perilaku anggota Polri jumlahnya tentu lebih banyak lagi, mulai dari aparat Polri yang terlibat dalam aksi kejahatan, menjadi backing tempat-tempat perjudian, hingga seringnya aparat Polri terlibat bentrokan dengan anggota TNI.
Sekalipun beberapa penilaian masyarakat dan lembaga-lembaga non pemerintah masih perlu diperdebatkan kebenarannya, terlebih dari kalangan internal di kepolisian, hendaknya survey tadi harus dipandang secara bijaksana sebagai sebuah perenungan bagi seluruh elemen Polri tentang apa yang telah dilakukan untuk bangsa dan Negara selama hampir satu dekade sejak terpisah dari TNI.
Apa yang selama ini diperbuat oleh Polri, ternyata masih belum mampu mengubah pencitraan negatif dari masyarakat terhadap sosok Polri. Karena itu terkait munculnya berbagai kritikan, sudah seharusnya apabila Polri segera memperbaiki diri. Idealnya munculnya berbagai kritikan terhadap Polri dijawab dengan perbaikan, bukan reaksi yang berlebihan.
Mengubah citra negatif
Polisi profesional adalah adalah polisi yang lebih menekankan pendekatan pre-emtif dan preventif dibandingkan represif dalam penanganan Kamtibmas di suatu wilayah. Pendekatan pre-emtif merupakan upaya proaktif dan internaktif dalam rangka pembinaan, penataan dan pemanfaatan potensi masyarakat dalam upaya merebut simpati rakyat, sedangkan pendekatan preventif merupakan upaya yang bersifat pencegahan dan pengeliminiran terhadap setiap bentuk-bentuk ancaman gangguan kamtibmas dengan memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu, prasyarat utama yang harus dipenuhi agar polisi profesional dapat terwujud adalah terciptanya hubungan fungsional yang baik dan serasi antara polisi dan masyarakat. Namun hubungan ini akan terwujud apabila pencitraan masyarakat terhadap Polri positif, sehingga muncul sikap saling menghargai dan menghormati, serta saling mendukung dalam mewujudkan Kamtibmas yang kondusif.
Upaya Polri untuk mengubah citranya dari Polisi yang pada mulanya berkarakter militeristik sehingga dalam bertindak selalu menekankan pendekatan kekuasaan, menjadi Polisi yang dekat dengan masyarakat, sudah lama digulirkan. Berbagai upaya telah dilakukan demi memperbaiki citra tersebut. Bahkan, untuk membuktikan komitmen tersebut, Kapolri Jenderal Sutanto pernah menyatakan akan memeriksa dan memublikasikan kepada masyarakat setiap oknum polisi yang berperilaku negatif dan merugikan rakyat, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi anggota Polri lainnya. Komitmen ini semakin terbukti ketika Polri, sekalipun dengan berat hati, harus memeriksa beberapa mantan petinggi karena diduga terlibat dalam suatu tindak pidana, sebuah tindakan yang jarang terjadi di masa-masa lalu.
Namun demikian, tampaknya karakter-karakter anggota Polri yang arogan, ingin dilayani, brutal, berkompromi dengan hal-hal yang menyimpang, tetap saja sukar untuk dihilangkan, terbukti dengan banyaknya kasus hukum yang menimpa aparat Polri. Pelanggaran demi pelanggaran silih berganti mengemuka. Jenis pelanggaran yang dilakukan oleh oknum Polri pun tidak berubah. Dalam kondisi demikian, maka citra polisi pun semakin buruk di mata publik. Memang benar bahwa Polisi juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Namun, masalahnya adalah apakah wajar apabila polisi akan selalu jatuh ke lubang yang sama? inilah pekerjaan rumah bagi semua insan bhayangkara dalam menemukan solusinya.
Harus diakui bersama, bahwa perubahan kultural di tubuh Polri, salah satunya perubahan mental dan kepribadian anggota Polri, merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan perubahan struktural maupun instrumental. Mengubah struktur organisasi Polri atau mengubah pola pendidikan di lembaga pendidikan Polri agar lebih menonjolkan aspek pemahaman terhadap perlindungan HAM, tentunya relatif mudah dilakukan dibandingkan mengubah karakter anggota Polri agar menjadi Polisi sipil.
Kesukaran untuk mengubah karakter negatif yang ada di diri anggota Polri memang bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan mengingat karakter tersebut (militeristik) sudah tertanam dan berakar dalam jangka waktu lama, dampak dari kebijakan masa lalu, sehingga mustahil apabila diubah dalam jangka waktu singkat.
Munculnya pencitraan negatif terhadap aparat Polri tentunya menimbulkan efek negatif, yang mana publik akan meragukan kemampuan polisi dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Harapan terwujudnya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap polisi seakan “jauh panggang dari api”, jauh dari kenyataan. Padadal, selama ini publik masih mengandalkan kekuatan polisi sebagai pilar utama dalam masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.
- Beberapa upaya memperbaiki citra polisi ditengah-tengah derasnya kritikan sudah banyak dilakukan, diantaranya secara konsisten tanpa diskriminasi, diterapkannya penjatuhan sanksi tegas kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran, sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek jera. Sanksi yang tegas pada aparat yang melakukan pelangggaran harus semakin banyak diupayakan, mengingat selama ini masyarakat memandang bahwa sanki yang dijatuhkan kepada aparat Polri seringkali lemah dan berhenti hanya pada penerapan sanksi disipliner sekalipun nyata-nyata oknum polisi tersebut melakukan kesalahan besar. Upaya ini dilakukan untuk membuktikan bahwa polisi juga tidak kebal hukum. Hukuman administrasi tidak lengkap tanpa ada pertanggungjawaban pidana. Karena itu, bagi polisi yang terindikasi kuat secara yuridis dalam pemeriksaan awal melakukan penyalahgunaan jabatan dan korupsi, kasusnya harus diserahkan ke pemeriksaan pidana. Lebih jauh, para polisi nakal tersebut seharusnya mendapatkan sanksi yang lebih berat dari para pelaku pidana biasa, karena mereka adalah penegak hukum yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat.
Hal yang tidak dapat diabaikan adalah perbaikan pola perekrutan terhadap calon anggota Polri. Bukan rahasia umum, apabila sejak masa perekrutan lalu lintas uang disinyalir sudah banyak berbicara dalam proses penentuan kelulusan bagi para pelamar, belum lagi pada saat penentuan jabatan (mutasi atau promosi). Karena itu, perubahan metode, prosedur, dan proses pembinaan personal polisi harus jelas sehingga dapat menghasilkan polisi yang berkarakter profesional. Indikatornya, masyarakat akan merasakan kualitas perlindungan dan pengayoman yang diberikan oleh anggota Polri ketika masyarakat membutuhkan pelayanan.
Hal lain yang perlu dibenahi adalah optimalisasi peran masyarakat dalam mendukung tugas-tugas kepolisian. Bagaimana polisi dapat mengoptimalkan masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mengingat musuh polisi sebenarnya merupakan musuh masyarakat. Untuk itu, kerja sama antara polisi dengan masyarakat untuk menumpas “musuh” bersama tersebut diharapkan dapat lebih optimal. Konsep perpolisian masyarakat sudah terbukti mampu meningkatkan citra polisi sekaligus menekan angka kejahatan, sejatinya harus terus dikembangkan.
Jadi disini Polisi harus mengedepankan pendekatan humanis dalam menangani setiap persoalan Kamtibmas. Sikap angkuh dan anarkis yang sering ditampilkan dalam menyelesaikan persoalan harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, penyelesaian persoalan Kamtibmas dengan pedoman menghargai hak asasi manusia (HAM) perlu dikedepankan. Melalui cara demikian, otomatis kedekatan Polri dan masyarakat dapat tercipta. Selanjutnya, citra Polri di mata publik pun akan dapat terwujud dengan sendirinya.
Sebagai sebuah institusi yang berperan dalam pengamanan dan keamanan masyarakat, Polisi Republik Indonesia (Polri) masih perlu terus dibenahi untuk menjadi polisi yang profesional. Untuk menjadi polisi yang profesional, agar citra positif dapat terbangun, harus dilakukan berbagai pembenahan. Pembenahan harus dilakukan secara internal disertai kontrol dari luar. Tidak hanya pemimpinnya yang harus baik, tapi juga peran serta pihak luar dalam melakukan pengawasan.
Membiarkan institusi Polri dihuni oleh polisi-polisi yang tidak memiliki karakter sipil jelas sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi kepolisian, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat, dan mengoyak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Oleh karena itu, pembenahan harus segera diwujudkan agar Polisi memperoleh citra positif dimata masyarakat sekaligus sahabat masyarakat. Bukankah, ibu kandung polisi adalah masyarakat itu sendiri?