SENKOM BONDOWOSO

SENKOM MITRA POLRI BEKERJA SEPENUH HATI, MENEMBUS JARAK TANPA BATAS
Selamat Datang di WebBlog Senkom Mitra Polri Kabupaten Bondowoso



TEKAD SENKOM

TEKAD SENKOM
Adib Trihudoyo Soebronto : sentra komunikasi mitra polri wahana pembangun idealisme, siap bantu wujudkan keamanan dan keteriban masyarakat melalui media informasi komunikasi

Total Tayangan Halaman


Diberdayakan oleh Blogger.

FESTIVAL MUHARRAM

FESTIVAL MUHARRAM
MAJULAH BONDOWOSOKU

Foto saya
Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia
Sentra Komunikasi (SENKOM) Mitra Polri Kabupaten Bondowoso adalah Organisasi wahana pembangun idealisme, organisasi terstruktur secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah. SENKOM adalah organisasi resmi yang dilindungi oleh Undang-Undang, selalu berkoordinasi dengan SENKOM Pusat dan SENKOM Provinsi Jawa Timur serta unsur POLRI dan Unsur Pemerintah sebagai mitra, sehingga kegiatan, Visi, Misi Organisasi tersinkronisasi terarah dan terpadu.

Pengikut

TARUNA


ShoutMix chat widget

taruna di Yahoo..!

Penyidik PNS dalam Penegakan Hukum

Era globalisasi yang ditandai dengan meningkatnya komunikasi dan interaksi antar individu menyebabkan potensi terjadinya beragam permasalahan antar individu atau kelompok masyarakat. Permasalahan yang kerapkali muncul seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah kehadiran berbagai jenis kejahatan yang berbasis teknologi informasi, seperti, pencucian uang (money laundering), cyber crime, dan kejahatan Hak atas Kekayaan Intelektual.
Upaya yang dilakukan pembuat undang-undang dalam mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan yang cenderung meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas adalah  menyusun peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pada institusi lain, di luar Polri, untuk terlibat dalam proses penyidikan. Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa tindak pidana. Adapun institusi sipil yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan suatu kasus pidana adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Munculnya PPNS sebagai institusi di luar Polri untuk  membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari kedua undang-undang tersebut tampak jelas bahwa eksistensi PPNS dalam proses penyidikan ada pada tataran membantu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kendali atas proses penyidikan tetap ada pada aparat kepolisian, mengingat kedudukan institusi Polri sebagai kordinator pengawas (Korwas), sehingga menjadi hal yang kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu Polri.
Upaya mendudukan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana tampaknya bukan lagi sekedar wacana namun sudah mengarah pada upaya pelembagaan, akibatnya dalam praktik penegakan hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat Polri. Bahkan dalam beberapa kasus, kondisi ini berakhir dengan  munculnya permasalahan hukum, seperti  terjadinya gugatan praperadilan terhadap institusi Polri karena dianggap aparat Polri melampaui kewenangannya dalam melakukan penyidikan, seperti terjadi dalam kasus gugatan Abdul Waris Halid, tersangka kasus penyelundupan gula putih import pada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Badan Reserse Kriminal Polri Cq. Direktur II Ekonomi dan Khusus, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam putusannya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan bahwa penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh termohon, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Cq. Badan Reserse Kriminal Polri Cq. Direktur II Ekonomi dan Khusus, adalah tidak sah karena yang berwenang adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sesuai dengan Pasal 112 Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Jo. Pasal 6 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Jo. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1981. Sungguh  ironis, aparat Polri yang sejatinya merupakan  pengemban utama dalam penyidikan tindak pidana harus menghadapi gugatan ketika sedang melaksanakan tugas pokoknya.
Upaya melepaskan kedudukan PPNS di bawah koordinasi aparat kepolisian tentunya memiliki dampak yang sangat luas terhadap sistem penegakan hukum di Indonesia, sehingga melalui uraian singkat ini saya bermaksud untuk menyampaikan sedikit pemikiran terkait kedudukan PPNS dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Tujuan yang hendak dicapai melalui tulisan ini tidak lebih dari upaya menempatkan masing-masing lembaga penyidik sesuai dengan kedudukannya masing-masing sebagaimana arahan undang-undang, sehingga dikemudian hari tidak lagi muncul tarik menarik dalam menjalankan penyidikan dan yang terpenting sistem penegakan hukum yang selama ini telah dibangun  dapat berdiri kokoh.
Dasar hukum kewenangan PPNS dalam melakukan penyidikan
Dalam kerangka sistem peradilan pidana (criminal justice system), peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya  tugas pencarian kebenaran materiil karena melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan hukum mulai dilaksanakan.
Selama ini luas lingkup tugas dan tanggung jawab penyidik dalam sistem penegakan hukum di Indonesia menyisakan banyak permasalahan, tidak saja terkait banyaknya institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan atas suatu tindak pidana, tetapi juga masih terdapatnya tumpang tindih kewenangan penyidikan antara beberapa institusi. Akibatnya, antar institusi penyidik muncul kesan kurang terjalin koordinasi dan sinergitas yang dapat berdampak pada berkurangnya kredibilitas institusi penegak hukum dimata masyarakat.
Permasalahan sebagaimana digambarkan di atas tentunya akan terus berlanjut apabila tidak segera ditemukan jalan keluarnya, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah terancamnya rasa keadilan masyarakat. Hanya karena muncul sikap ego sektoral di antara masing-masing intitusi penegak hukum, rasa keadilan masyarakat yang seharusnya dijunjung tinggi harus dikorbankan.
Apabila memperhatikan pada perundang-undangan nasional, ada beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum diberikannya wewenang kepada PPNS untuk melakukan penyidikan di antaranya:
  1. Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;
  2. Pasal 1 angka 10 dari Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  3. Pejabat Bea dan Cukai sebagai penyidik berdasarkan Pasal 112 ayat (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;
  4. Pasal 89 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang menegaskan bahwa Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Merek.
Diberikannya wewenang untuk melaksanakan tugas penyidikan kepada PPNS, di satu sisi tentunya akan memudahkan dalam pengungkapan suatu tindak pidana mengingat banyaknya kendala yang dihadapi oleh aparat kepolisian dalam melakukan penyidikan, seperti kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, sarana-prasarana pendukung, serta anggaran. Namun, di sisi lain banyaknya institusi penyidik berpotensi menimbulkan tarik menarik kewenangan antar institusi, terlebih apabila masing-masing institusi penyidik mengedepankan ego sektoral, yang dapat berujung pada terhambatnya proses penegakan hukum.
Oleh karena itu, dalam mengantisipasi munculnya ketidaksinkronan dalam melaksanakan tugas penyidikan, khususnya antara penyidik Polri dan PPNS, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan solusi  terkait kedudukan kedua intsitusi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2)  KUHAP yang menegaskan bahwa Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b (PPNS) mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a (Polri).
Peran PPNS dalam Penegakan Hukum Pidana
Di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice system) terkandung gerak sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan) yang secara keseluruhan berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yang berwujud resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang).
Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem terpadu” (integrated criminal justiuce system). Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.
Pada pokoknya, sistem peradilan pidana didukung dan dilaksanakan oleh empat fungsi utama, yaitu:
1.      Fungsi pembuatan undang-undang (law making function)
Fungsi ini dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah atau badan lain berdasar delegated legislation. Yang diharapkan, hukum yang diatur dalam undang-undang, “tidak kaku” (not rigid). Sedapat mungkin “fleksibel” (flexible) yang bersifat cukup akomodatif terhadap kondisi-kondisi perubahan social.
2.      Fungsi penegakan hukum (law enforcement function)
Tujuan obyektif fungsi ini ditinjau dari pendekatan “tata tertib sosial” (social order):
a.       Penegakan hukum “secara aktual” (the actual enforcement law) meliputi tindakan:
1)      Penyelidikan-penyidikan (investigation)
2)      Penangkapan (arrest)- penahanan (detention);
3)      Persidangan pengadilan (trial), dan
4)      Pemidanaan (punishment) – pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender)
b.       Efek “preventif” (preventive effect)
Fungsi penegakan hukum diharapkan mencegah orang (anggota masyarakat melakukan tindak pidana). Dalam konteks kehadiran polisi berseragam ditengah-tengah masyarakat  dimaksudkan sebagai upaya prevensi. Kehadiran dan keberadaan Polisi dianggap mengandung preventive effect yang memiliki daya cegah (detterent effort) anggota masyarakat melakukan tindak kriminal.
3.      Fungsi pemeriksaan persidangan pengadilan (function of adjudication)
Fungsi pemeriksaan ini merupakan sub fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum serta pejabat pengadilan yang terkait.
Melalui fungsi inilah ditentukan:
a.       Kesalahan terdakwa (the determination of guilty)
b.       Penjatuhan hukuman (the imposition of punishment)
4.      Fungsi memperbaiki terpidana (The function of correction)
Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan Sosial Terkait, dan Lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembaga-lembaga yang berhubungan dengan penghukuman dan pemenjaraan terpidana: merehabilitasi pelaku pidana (to rehabilitate the offender) agar dapat kembali menjalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life).
Penyidik Polri bila dilihat dari Sistem Peradilan Pidana merupakan salah satu mata rantai dalam sistem tersebut. Polri merupakan salah satu sub sistem peradilan pidana yang terdiri dari: sub Sistem Kepolisian (dalam hal ini penyidik Polri), kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Keempat Sub sistem tersebut mempunyai peranan masing-masing yang satu sama lain saling berkaitan.
Dalam kerangka pemahaman sistem tersebut maka kepolisian, kejaksaan, advokat, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan unsur-unsur yang membangun sistem tersebut. Masing-masing memang berdiri sendiri dan menjalankan pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap merupakan satu kesatuan.
Jika diperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) KUHAP terlebih jika dihubungkan dengan beberapa bab dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti Bab V (Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat) serta Bab XIV (Penyidikan), ruang lingkup wewenang dan kewajiban penyidik adalah sangat luas.
Ruang lingkup wewenang yang masuk dalam proses penyidikan antara lain:
1.      Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya suatu tindak pidana;
2.      Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3.      Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka;
4.      Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5.      Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6.      Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
7.      Memanggil orang untuk didengar dan diperiksan sebagai tersangka atau saksi;
8.      Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara;
9.      Mengadakan penghentian penyidikan;
10.    Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dengan memperhatikan ruang lingkup wewenang di atas tidak dapat disangkal lagi bahwa proses penyidikan sejatinya bukan proses yang sederhana, karena itu tidak setiap institusi dapat melaksanakannya. Apalagi hanya dilakukan oleh institusi yang tugas pokoknya sejatinya bukan sebagai penyidik karena dikhawatirkan dapat menimbulkan kesalahan procedural yang berpotensi menyebabkan terlanggarnya hak asasi seseorang.
Dilibatkannya PPNS, yang sejatinya merupakan bagian dari institusi eksekutif, dalam proses penyidikan tindak pidana lebih banyak dilatarbelakangi kondisi faktual di lingkungan internal Polri yang mana Polri masih memiliki berbagai kekurangan sumber daya, di antaranya:
a.         Sumber Daya Manusia
Harus diakui bahwa sampai sekarang kondisi sumber daya manusia Polri masih menghadapi kendala, baik dari segi  kuantitas maupun kualitas. Belum seimbangnya ratio antara jumlah anggota Polri dan masyarakat berdampak pada minimnya personil Polri yang memiliki kualifikasi sebagai penyidik, sedangkan secara kuantitas, masih banyak anggota Polri yang belum memahami materi (substansi) kasus pidana tertentu. Misalnya, pemahaman tentang keimigrasian, kepabeanan, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, keterlibatan PPNS dalam penyidikan suatu tindak pidana tertentu sejatinya merupakan upaya mengatasi kendala tersebut. Namun demikian, dalam tataran taktis dan teknis penyidikan kendali tetap ada pada aparat Polri sebagai penyidik utama.
b.         Sarana Prasarana
Dalam kasus-kasus tertentu, institusi Polri belum memiliki sarana prasarana penyidikan yang relatif memadai dibandingkan dengan PPNS. Misalnya untuk penindakan kasus kepabeanan tentunya diperlukan sarana prasarana kapal motor dengan kualifikasi khusus, sementara aparat Polri belum memiliki kapal dengan kwalifikasi tersebut sehingga memerlukan bantuan dari Bea dan Cukai. Hal yang sama terjadi pula pada penyidikan tindak pidana illegal fishing, hingga sekarang sarana prasarana pendukung penyidikan yang dimiliki Polri masih belum memadai sehingga membutuhkan keterlibatan PPNS.
c.         Anggaran
Sebagaimana diketahui bersama anggaran yang dialokasikan khusus untuk melakukan penyidikan suatu tindak pidana relatif kecil dibandingkan kebutuhan riil, apalagi jika lokasi penyidikan saling berjauhan dan melintasi batas wilayah. Karena itu, keterlibatan PPNS dalam melakukan penyidikan diharapkan dapat meminimalisir kendala anggaran.
Dengan memperhatikan pada beberapa kendala di atas, dapat dijelaskan bahwa pelibatan PPNS dalan tugas-tugas penyidikan tidak pada tataran taktis dan teknis penyidikan karena sudah sejak semula instansi tersebut dibentuk hanya untuk membantu aparat Polri dalam  melakukan penyidikan, sehingga upaya melembagakan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan tugas penyidikan dikhawatirkan akan berdampak pada tercederainya proses penegakan hukum.
Oleh karena itu, agar pada saat melaksanakan kewenangan melakukan penyidikan antara PPNS dan penyidik Polri tidak terjadi tumpang tindih kewenangan, KUHAP telah mengatur hubungan di antara masing-masing institusi sebagai berikut:
1.      Penyidik pegawai negeri sipil berkedudukan di bawah:
a)      Koordinasi penyidik Polri
b)      Di bawah pengawasan penyidik Polri
2.      Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat (1) KUHAP)
3.      Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, harus melaporkan kepada penyidik Polri tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidik, jika dari penyidikan itu oleh penyidik pegawai negeri sipil ditemukan bukti yang kuat untuk mengajukan tindak pidananya kepada penuntut umum (Pasal 107 ayat (2) KUHAP)
4.      Apabila penyidik pegawai negeri sipil telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umum. Cara penyerahan hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum dilakukan penyidik pegawai negeri sipil melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (3) KUHAP)
5.      Apabila penyidik pegawai negeri sipil menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik Polri, penghentian penyidikan itu harus diberitahukan kepada penyidik Polri dan penuntut umum (Pasal 109 ayat (3) KUHAP). Yang perlu mendapat perhatian dalam hal penghentian penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil adalah meskipun pada saat pelaporan tindak pidana yang sedang disidiknya, penyidik pegawai negeri sipil cukup memberitahukan atau melaporkan penyidikan itu kepada penyidik Polri, tidak perlu diberitahukan kepada pununtut umum, namun dalam hal penghentian penyidikan, disamping harus memberitahukan penghentian tersebut kepada penyidik Polri, juga harus memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut umum.
Hal lain yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai alasan sehingga kewenangan PPNS dalam melakukan penyidikan tidak dapat dipisahkan dari kedudukan Polri sebagai Korwas PPNS dapat ditinjau dari kerangka Criminal Justice System (CJS).
Sebagaimana diketahui, dalam kerangka CJS institusi utama yang menjadi pilar penopang berjalannya sistem tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Apabila PPNS, yang sejatinya merupakan subordinasi dari lembaga eksekutif diperkenankan untuk langsung melakukan tugas-tugas penyidikan menggantikan kedudukan Polri sebagai penyidik, maka dikhawatirkan proses penegakan hukum nasional yang selama ini dibangun atas landasan CJS akan tercederai mengingat eksekutif tidak masuk dalam kerangka CJS. Oleh karena itu, agar CJS tidak tercederai dengan masuknya PPNS sebagai institusi penyidik, maka KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa PPNS tidak diperkenankan untuk secara langsung menyerahkan hasil pemeriksaan kepada jaksa penuntut umum tetapi kepada penyidik Polri.
Penutup
Munculnya tarik menarik kewenangan dalam melakukan penyidikan kasus tindak pidana tertentu dapat berdampak negatif tidak saja bagi proses penegakan hukum itu sendiri tetapi juga bagi kredibilitas kedua aparat penegak hukum di mata masyarakat. Padahal, idealnya dalam sistem peradilan pidana antara institusi penegak hukum yang satu dengan institusi penegak hukum lainnya harus berjalan seiring dan seirama. Dengan kalimat yang lebih ilmiah seharusnya dalam penegakan hukum terwujud sebuah integrated criminal justice system.
Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dalam melakukan penyidikan yang diperlukan peningkatan koordinasi dan pengawasan antar institusi yang terkait dalam penegakan hukum,  serta sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan melakukan penyidikan agar diperoleh pemahaman yang tepat terkait tugas dan kewenangan masing-masing institusi. Melalui sosialisasi ini diharapkan dapat mempersempit jurang pemisah di antara masing-masing institusi sekaligus dapat mewujudkan institusi penyidik yang saling melengkapi.