SENKOM BONDOWOSO

SENKOM MITRA POLRI BEKERJA SEPENUH HATI, MENEMBUS JARAK TANPA BATAS
Selamat Datang di WebBlog Senkom Mitra Polri Kabupaten Bondowoso



TEKAD SENKOM

TEKAD SENKOM
Adib Trihudoyo Soebronto : sentra komunikasi mitra polri wahana pembangun idealisme, siap bantu wujudkan keamanan dan keteriban masyarakat melalui media informasi komunikasi

Total Tayangan Halaman


Diberdayakan oleh Blogger.

FESTIVAL MUHARRAM

FESTIVAL MUHARRAM
MAJULAH BONDOWOSOKU

Foto saya
Bondowoso, Jawa Timur, Indonesia
Sentra Komunikasi (SENKOM) Mitra Polri Kabupaten Bondowoso adalah Organisasi wahana pembangun idealisme, organisasi terstruktur secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah. SENKOM adalah organisasi resmi yang dilindungi oleh Undang-Undang, selalu berkoordinasi dengan SENKOM Pusat dan SENKOM Provinsi Jawa Timur serta unsur POLRI dan Unsur Pemerintah sebagai mitra, sehingga kegiatan, Visi, Misi Organisasi tersinkronisasi terarah dan terpadu.

Pengikut

TARUNA


ShoutMix chat widget

taruna di Yahoo..!

Penegakan Hukum Tergadai

“'Di Dunkin’ Donuts Gajah Mada, saya mencatat apa yang didiktekan Gayus. Gayus bilang ke saya, tolong diatur penyidik semua Rp5 miliar, jaksa semua Rp5 miliar, hakim semua Rp5 miliar, pengacara semua Rp5 miliar, dan untuk dia (Gayus) sendiri Rp5 miliar,” begitu papar Haposan ketika diperiksa sebagai saksi dalam persidangan Sri Sumartini, salah satu penyidik perkara Gayus yang kini menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Meski belum terbukti apakah uang ini sampai ke tangan pihak-pihak yang disebut Gayus atau tidak, pernyataan ini seolah mencerminkan begitu mudahnya penegakan hukum tergadai dengan janji atau pemberian uang miliaran rupiah. Perbuatan itu tidak dilakoni sendiri oleh Gayus, melainkan andil dari sejumlah pihak yang notabene adalah aparat penegak hukum. Mulanya, praktek makelar kasus (markus) dalam penanganan perkara Gayus Halomoan P Tambunan (2009) terungkap karena “nyanyian” mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duaji sekitar Maret 2010 lalu. “Nyanyian” Susno ini terdengar dimana-mana. Bagaimana tidak, sejumlah penyidik Polri, advokat, jaksa, bahkan hakim diduga turut “bermain” dalam perkara Gayus.

Tak asal ucap. Sinyalemen yang dibeberkan Susno telah ditindaklanjuti penyidik. Tim penyidik anti mafia hukum Mabes Polri yang diketuai Mathius Salempang lalu menetapkan sembilan tersangka, enam diantaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan satu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, sejak pertengahan Juli lalu. Dan awal September, dua terdakwa, yaitu Alif Kuncoro dan M Arafat Enanie dituntut masing-masing dua setengah dan empat tahun penjara. Sementara, lima terdakwa lainnya, Andi Kosasih (rekan bisnis Gayus), Lambertus Palang Ama (mantan kuasa hukum Andi Kosasih), Sjahril Djohan (penghubung Haposan dengan Susno), Sri Sumartini (penyidik), dan Muhtadi Asnun (Ketua Majelis Hakim yang ketika itu menyidangkan perkara Gayus di Pengadilan Negeri Tangerang) masih menjalani proses persidangan.

Sementara berkas perkara Gayus baru disidangkan menjelang Lebaran. Berkas Haposan Hutagalung (mantan kuasa hukum Gayus) baru dilimpahkan penuntut umum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan kemungkinan dalam waktu dekat disidangkan. Meski telah menetapkan sembilan tersangka, atasan penyidik dan elemen jaksa tak muncul dalam jajaran tersangka. Entah karena ketidakmampuan atau keengganan untuk mengungkap keterlibatan pihak-pihak tersebut, yang pasti pada Juli 2010 lalu, tim penyidik anti mafia hukum Mabes Polri telah dibubarkan. Dan pembubaran ini, menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Marwoto Soeto tidak berarti penanganan perkara Gayus selesai hingga di delapan tersangka. “Selanjutnya, kasus yang ditangani diserahkan ke Bareskrim,” akunya.

Meski demikian, sampai saat ini tidak banyak perkembangan dalam penanganan perkara Gayus. Penyidik madya Mardiyani, Kepala Unit III Pajak, Asuransi, dan Money Laundering Direktorat II Eksus Pambudi Pamungkas, Direktur II Eksus Edmond Ilyas, dan penggantinya Raja Erizman tidak juga ditetapkan sebagai tersangka. Sama halnya dengan Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manullang. Dua jaksa peneliti perkara Gayus yang namanya disebut-sebut dalam praktek markus perkara Gayus, tidak juga ditetapkan sebagai tersangka.

Mabes Polri berdalih belum ada bukti yang cukup untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Sehingga, perkembangannya diserahkan kepada fakta persidangan dan majelis hakim yang sekarang menyidangkan sejumlah terdakwa dalam perkara Gayus. Meski demikian, ketua tim penyidik anti mafia hukum Mabes Polri, Mathius Salempang, pada bulan Juni 2010 lalu usai diminta penjelasannya oleh Panitia Kerja Penegakan Hukum Komisi III DPR, sempat menyatakan indikasi keterlibatan atasan penyidik dan jaksa ini memang ada. Tetapi, indikasi tersebut harus dibuktikan secara hukum, dan itu tidak mudah. “Bila meminjam istilah Jaksa Agung Hendarman Supandji. Baunya sih ada, tetapi ini kan harus dibuktikan secara hukum. Makanya, kami sedang terus dalami,” ujarnya.

Dan memang, Jaksa Agung Hendarman Supandji pernah melontarkan istilah itu saat mencium indikasi keterlibatan para jaksa peneliti dalam perkara Gayus. Namun, seolah hanya angin lalu, hingga kini, para atasan penyidik dan jaksa peneliti masih bisa melenggang bebas. Yang menjerat mereka hanyalah peraturan internal lembaga yang menganggap mereka tidak mampu mengontrol bawahan dan tidak cermat dalam menangani perkara Gayus.

Untuk itu, pengadilan seolah-olah menjadi tumpuan terakhir untuk membuka tabir keterlibatan para atasan penyidik dan jaksa peneliti perkara Gayus. Karena, penuntut umum sejumlah terdakwa dalam perkara Gayus pun ternyata tidak membeberkan keterlibatan Cirus cs di dalam dakwaan Arafat dan Sri Sumartini. Padahal, dalam berkas yang dilimpahkan penyidik kepada penuntut umum, Arafat, Sri Sumartini, dan Haposan mengaku bertemu dengan dua jaksa peneliti Cirus dan Fadil Regan di Hotel Crystal.

Namun, pertemuan yang terjadi sekitar bulan November 2009 itu tidak diungkapkan penuntut umum di dalam alur dakwaan Arafat maupun Sri Sumartini. Kemudian, Cirus cs tidak pula dimasukan penuntut umum ke dalam daftar saksi. Padahal, Cirus bersama jaksa peneliti lainnya, yaitu Poltak, Fadil, Ika Safitri, dan satu jaksa penuntut umum Eka Kurnia sempat diperiksa sebagai saksi dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaannya (BAP) oleh penyidik Mabes Polri. Tapi, penuntut umum tetap tidak memasukannya dalam daftar saksi.

Penuntut umum beralasan tidak dimasukannya pertemuan itu, karena tidak memiliki relevansi dengan pembuktian perkara Arafat dan Sri Sumartini. Walau begitu, dalam fakta persidangan terungka ada peranan jaksa peneliti di sana. Pertemuan di Hotel Crystal, misalnya, menurut Arafat, adalah untuk memasukan pasal penggelapan (Pasal 372 KUHP) ke dalam berkas perkara Gayus. Sehingga, perkara Gayus yang seharusnya masuk dalam ranah tindak pidana khusus (Pidsus) karena diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dan korupsi, menjadi tindak pidana umum (pidum) dengan dugaan tindak pidana pencucian uang dan penggelapan.

Keterlibatan Cirus cs ini diungkapkan Arafat ketika menjadi saksi di persidangan Sri Sumartini. Menurutnya, arahan untuk memasukan pasal penggelapan itu tak lain agar perkara Gayus ditangani Cirus (jaksa senior di Pidum Kejaksaan Agung) yang merupakan rekan dari Haposan. Hal ini berlanjut dengan arahan Cirus dalam P19 untuk hanya menyita Rp370 juta dalam rekening Gayus yang diketahui berasal dari PT Megah Cipta Karya Garmindo. Padahal, Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan lainnya dalam rekening Gayus yang bernilai Rp28 miliar. Salah satunya adalah dari seorang konsultan pajak bernama Roberto Santonius yang melakukan transfer senilai Rp925 juta ke rekening Gayus.

Tapi, entah mengapa penyidik sedari awal tidak menyita seluruh uang di dalam dua rekening Gayus di Bank BCA dan Panin sejumlah Rp28 miliar. Dan jaksa peneliti pun tidak memberi petunjuk untuk menyita uang tersebut. Sehingga, ketika perkara Gayus dinyatakan lengkap alias P21, blokirnya pun dibuka pada 26 November 2009 oleh Raja Erizman, Direktur II Eksus yang ketika itu menggantikan Edmond. Dengan alasan, karena hanya Rp370 juta yang dinyatakan jaksa peneliti terindikasi pidana, sementara sisanya tidak, maka dibukalah blokir atas rekening Gayus.

Sayang, untuk memperjelas mengenai masuknya Pasal 372 KUHP, kemudian munculnya petunjuk jaksa peneliti untuk hanya menyita Rp370 juta saja, serta pembukaan blokir, penuntut umum tidak menghadirkan Cirus cs dan Raja Erizman sebagai saksi. Sama halnya dengan pihak Arafat. Menurut penasehat hukum Arafat, Maruli Simanjuntak, pihaknya tidak akan meminta untuk menghadirkan Cirus cs dan Raja Erizman, karena tidak ada relevansinya dengan perkara Arafat. Dengan demikian, Ketua Majelis Hakim Haswandy pun mengaku tidak dapat berbuat apa-apa. Haswandy menyatakan tidak bisa meminta untuk menghadirkan Cirus cs dan Raja Erizman, “karena itu tergantung permintaan penuntut umum atau pengacaranya”.

Oleh karena tidak ada satupun yang meminta kepada majelis hakim untuk menghadirkan Cirus cs dan Raja Erizman, maka sidang pun saat ini sudah memasuki tuntutan. Padahal, Wakil Jaksa Agung Darmono sempat mengatakan pihaknya tidak melindungi Cirus cs dari jerat pidana. Apabila memang indikasi kuat atas keterlibatan Cirus cs itu muncul di persidangan, Darmono mempersilahkan hakim memerintahkan pihak Kepolisian untuk menyidik Cirus cs. Namun, tidak ada yang tahu bagaimana ending dari perkara ini, karena semua tergantung kepada putusan majelis hakim.

Lempar handuk
Begitu mulusnya Gayus ketika itu lolos dari jerat pidana, diduga tak lepas dari peran Haposan, Lambertus Palang Ama, Andi Kosasih, Sjahril Djohan, serta aparat penegak hukum yang menangani perkaranya. Mulai dari proses penyidikan, Gayus sudah tidak ditahan walaupun dijerat dengan pasal pencucian uang dan korupsi. Kemudian, meski uang Rp28 miliar dalam rekening Gayus telah diblokir, penyidik tidak melakukan penyitaan. Sehingga memudahkan Gayus untuk mendapatkan uangnya kembali tanpa harus menjalani proses persidangan. Selain tidak menyita uang Rp28 miliar dalam rekening Gayus, penyidik juga tidak menyita aset-aset berupa rumah dan uang Rp500 juta di dalam rekening Bank Mandiri Gayus.

Ternyata tidak dilakukannya upaya penyitaan dan penahanan terhadap Gayus tidak dilakukan secara cuma-cuma. Dua penyidik Direktorat II Eksus, yaitu Arafat dan Sri Sumartini diduga menerima suap dan/atau gratifikasi untuk tidak melakukan upaya-upaya hukum tersebut. Tengok saja, dalam dakwaan perkara Arafat, penuntut umum menyatakan Arafat yang dibantu oleh penyidik lainnya, yakni Sri Sumartini telah menerima sejumlah uang untuk tidak melakukan penyitaan dan penahanan terhadap Gayus. Selain itu, untuk menyiasati uang Rp28 miliar dalam rekening Gayus agar lepas dari jerat pidana, kedua penyidik ini telah membantu untuk merekayasa perkara Gayus.

Memang, awalnya, Haposan yang meminta seorang rekan advokatnya untuk membuat konsep surat perjanjian antara Gayus dan Andi Kosasih. Rekannya itu bernama Lambertus. Dalam kesaksiannya, Lambertus mengaku dimintai bantuan oleh Haposan untuk membuat konsep surat perjanjian terkait bisnis pengadaan tanah untuk membangun ruko di daerah Jakarta Utara. Dimana, kemudian perjanjian yang diminta untuk dibuat dengan tanggal mundur (backdate) itu –seolah-olah dibuat tanggal 26 Mei 2008- ditandatangani Gayus dan Andi Kosasih pada 1 September 2009. Dan untuk lebih meyakinkan lagi, Gayus dan Andi Kosasih diperiksa terkait dengan kerja sama ini.

Ketika Gayus diperiksa di Bareskrim terkait dengan perjanjian ini, pemeriksaan tiba-tiba dihentikan dan diminta Haposan untuk dilanjutkan di luar. Dan pemeriksaan di luar itu, menurut Arafat dan Haposan atas seizin Kanit III Pajak, Asuransi, dan Money Laundering Pambudi Pamungkas. Atas perintah itu, Arafat dan Sri Sumartini pada 1 September 2009 melanjutkan pemeriksaan di tempat yang sudah dipersiapkan oleh Haposan, yaitu di Hotel Manhattan. Kemudian, setelah pemeriksaan selesai dilakukan, Arafat dan Sri Sumartini menerima kembali menerima sejumlah uang. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan terhadap Andi Kosasih di tempat yang berbeda, yaitu di Hotel Kartika Candra. Dimana, di tempat itu dibuat pula enam kwitansi yang untuk meyakinkan adanya penyerahan uang dari Andi Kosasih kepada Gayus.

Meski penerimaan uang itu dibantah Arafat dan Sri Sumartini, Arafat mengaku tidak ditahan, disitanya aset, dan pemeriksaan di luar itu semua atas perintah atasan. Tidak mungkin dirinya yang hanya berpangkat Komisaris Polisi berani melakukan hal tersebut sendiri, tanap seizin atasan. Namun, Pambudi dan Edmond membantah mengetahui adanya pemeriksaan di luar Bareskrim. Menurut Pambudi, meski pemeriksaan di luar kantor Bareskrim itu diperbolehkan tapi dengan alasan-alasan tertentu, seperti kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Sementara, Edmond dengan tegas menganggap hal itu adalah suatu penyimpangan, karena pemeriksaan di luar kantor Bareskrim itu sangat dilarang, apalagi untuk tersangka yang dalam kondisi sehat wal’afiat.

Padahal, Arafat bersikukuh pemeriksaan di luar kantor Bareskrim itu atas seizin Pambudi. Sehingga, menjadi kekecewaan yang sangat besar bagi Arafat, karena Pambudi tidak mengakuinya di persidangan. Selain itu, Arafat juga dengan sangat yakin menyatakan telah membuat rekomendasi untuk melakukan penyitaan, tapi rekomendasi ini tidak diindahkan oleh atasan Arafat. Dengan demikian, Arafat tidak terima apabila semua kesalahan dilimpahkan kepadanya.

Selanjutnya, selain dianggap telah menerima suap atau gratifikasi dari Gayus, Arafat juga telah dianggap menerima suap atau gratifikasi dari sejumlah pihak yang berhubungan dengan perkara Gayus. Dua diantaranya adalah Alif Kuncoro dan Roberto Santonius. Untuk Alif Kuncoro, Arafat diduga menerima sebuah motor Harlay Davidson untuk tidak menetapkan Alif dan adiknya, Imam Cahyo Maliki sebagai tersangka. Meski Arafat membantah dengan menyatakan motor itu hanya dititipkan, Alif mengakui bahwa pemberian motor itu sebagai bentuk “deal” untuk tidak menetapkan dirinya dan adiknya sebagai tersangka. Alif mengaku dirinya dan adiknya sempat ingin ditetapkan sebagai tersangka karena telah terdeteksi adanya aliran dana yang masuk ke dalam rekening Gayus. Padahal, menurut Alif uang itu hanyalah transaksi jual beli mobil antara adiknya dengan Gayus

Sementara, untuk Roberto, sedari awal penyidik Direktorat II Eksus telah menetapkan Gayus dan Roberto sebagai tersangka. Namun, status tersangka pada Roberto seolah-olah “lenyap” dan diubah hanya sebagai saksi. Oleh karena statusnya sudah berubah menjadi saksi, blokir atas rekening Roberto pun dibuka. Penuntut umum menyatakan, atas perubahan status dan pembukaan blokir itu Arafat menerima uang sejumlah Rp100 juta dari Roberto di halaman parkir Senayan City, pada September 2009.

Tapi, Arafat membantah dirinya telah menerima uang dari Roberto. Dan Roberto pun dalam kesaksiannya mencabut keterangannya dalam BAP yang menyatakan telah memberikan uang. Namun, Arafat sempat mengatakan bukan dirinya lah yang telah menerima uang dari Roberto, melainkan atasannya. Dan itu tertuang dalam BAP ketiga yang menurut Arafat tidak dimasukan ke dalam berkasnya. “Saya bilang seperti ini, karena saya tahu ada BAP ketiga Roberto yang tidak dimasukan ke dalam berkas perkara saya. Padahal dalam BAP ketiga itu, Roberto menyatakan kalau uang (Rp100 juta) itu tidak diberikan kepada saya, tapi diberikan kepada saya. Dan pemeriksaan itu disaksikan juga oleh pengacaranya, Hotma Sitompoel,” akunya.

Namun, perubahan status atas Roberto ini tidak diakui Pambudi dan Edmond. Menurut mereka meski ada perintah untuk fokus kepada perkara Gayus saja, tapi bukan berarti status Roberto diubah dari tersangka menjadi saksi. Maksud dari perinta itu adalah untuk memisah antara perkara Gayus dan Roberto. Tapi, terdapat keanehan, karena apabila memang demikian maksud dari perintah itu, mengapa blokir atas rekening Roberto dibuka? Roberto mengaku dirinya memang sempat bertemu dengan Edmond sebanyak dua kali untuk menyampaikan keberatan atas pemblokiran dan penetapannya sebagai tersangka. Karena, Roberto berdalih uang Rp925 juta yang mampir ke dalam rekening Gayus itu terkait urusan pinjam-meminjam. Dan itu dibuktikan Roberto dengan secarik kwitansi.

Roberto mengaku tidak mengetahui siapa yang membuka blokir atas rekeningnya. Tapi, Sri Sumartini yang mengetik surat pembukaan blokir itu menyatakan bahwa surat pemblokiran tersebut ditandatangani oleh Edmond. Tidak diketahui, apakah fakta-fakta yang muncul di persidangan ini dapat memunculkan indikasi kuat tentang keterlibatan para atasan penyidik. Yang pasti, semuanya tergantung dari putusan majelis hakim nanti.

Bahkan hakim
Seperti itulah yang terjadi ketika proses penyidikan. Kemudian, berlanjut pada proses penuntutan. Sedari awal, menurut Arafat perkara Gayus ini sengaja diarahkan ke ranah pidana umum, yaitu dengan cara memasukan pasal penggelapan ke dalam berkas perkara Gayus. Padahal, ketika di proses penyidikan, Gayus dikenakan pasal pencucian uang dan korupsi. Namun, karena masuknya pasal penggelapan, arah perkara Gayus menjadi ke pidana umum. Dan memang, di dalam dakwaan penuntut umum hanya mendakwa Gayus dengan pasal pencucian uang dan penggelapan. Oleh karena itu, Gayus juga hanya dituntut rendah, yaitu satu tahun masa percobaan. Yang selanjutnya, malah diputus bebas oleh majelis hakim yang diketuai Asnun Muhtadi.

Putusan bebas itu diduga sebagai “imbalan” atas pemberian-pemberian Gayus kepada Asnun. Dan perkaranya memang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dalam dakwaannya, Asnun diduga menerima suap atau gratifikasi dari Gayus. Ketika itu, Gayus yang diadili di Pengadilan Negeri Tangerang berupaya menemui Asnun untuk menjanjikan sejumlah uang sebesar AS$20 ribu. Kedatangan Gayus ke rumah Asnun diantar seorang panitera bernama Ikat. Sesuai dakwaan jaksa, Asnun tak menampik kedatangan Gayus. Ia malah diduga minta tambahan dana melalui pesan pendek. Asnun, menurut penuntut umum, menyanggupi permintaan Gayus yang meminta diputus bebas atau setidak-tidaknya putusannya diringankan. Dan pada kenyataannya, memang Gayus diputus bebas oleh majelis hakim yang diketuai Asnun dan beranggotakan Bambang Widiyatmo serta Haran Tarigan.

Begitulah salah satu potret penegakan hukum di Indonesia. Terutama untuk kasus Gayus, seluruh elemen penegak hukum diduga terlibat dalam praktek mafia kasus, yang tentunya sangat menciderai citra para aparat penegak hukum. Bahkan Hakim yang disebut-sebuh sebagai perwakilan Tuhan di dunia juga tak luput dari praktek mafia hukum dalam perkara Gayus. Padahal, banyak yang menjadikan hakim sebagai tumpuan terakhir untuk mendapatkan keadilan.(hukum online)